Nana Mirdad & Naysilla Mirdad
“Nikmatnya kontolku merasakan lubang pokek mereka yang hangat”
Aku sedang asik membuat laporan cashflows project yang harus
kuselesaikan dan mengirimkannya malam itu juga ke perusahaan partner kami di
Paris. Aku ditemani oleh seorang “OB” yang meski sudah beristri dan memiliki 1
orang anak, masih suka senang meladeni/mencari-cari orang yang salah sambung
telepon ke kantor.
Jam di meja kerjaku 10.30 tapi lampu (line) telepon masih menyala,
sambil istirahat sebentar, kucari pesawat mana yang masih online itu. Belum
sempat ketemu, “OB”-ku sudah panggil aku lewat intercom dari pentry tempatnya
ber-online ria,
“Bang, ada yang mau ngomong nih.. ambil yang kelap-kelip ya..”
(Bang = Abang; “OB” kantorku yang satu ini selalu meng-Abang-kan).
Dengan malas kuangkat gagang telepon, sambil teriak ke “OB”-ku itu.
“Siapa Nang?”
“Angkat aja.. Bang,” jawabnya lagi sambil teriak dari pentry (pentry dengan mejaku agak berjauhan).
“Angkat aja.. Bang,” jawabnya lagi sambil teriak dari pentry (pentry dengan mejaku agak berjauhan).
Pada akhirnya salah sambung ini berkelanjutan jadi menarik. Nama
orang yang “salah sambung” itu adalah Nana dan dengan setia akan meneleponku
setiap 2 minggu sekali setiap jam 21:00 – 24:00 dan akhirnya aku juga jadi
menunggu-nunggu telepon dari Nana. Perlu kuberitahukan di sini, sejak pertama
telepon, Nana (aku memanggilnya “Na”) ini bicaranya tidak jauh dari
selangkangan dan pusar, dan mungkin ini juga yang membuat aku ketagihan
melayaninya.
Hingga pada 4 bulan berikutnya, hari Sabtu kami copy darat. Dari
situlah baru aku kenal Na dengan wajah melayunya, kulitnya putih, tinggi 162
cm, berat 55 kg, payudara yang montok 36C, betis kecil, pantatnya yabg bahenol cukup besar tapi pinggulnya
lebih lebar (bahenol), umurnya sekitar 35 tahunan. Terus terang, fisiknya dari
dada ke bawah lebih meruntuhkan iman, ketimbang wajahnya. Setelah makan dan
ngobrol ngalor ngidul, kami ke luar.
“Na, mau terus pulang atau ada acara lain lagi nih..?”
“Aku tadi ijin keluar mau ke Bogor, tempat temen waktu SMA, jadi kayaknya kalo pulang sekarang masih kesiangan deh.. kita jalan aja yuk..!”
“Kemana?” tanyaku, sambil menggoda nakal.
“Ah.. kamu ngelantur deh..” sambil mencubit pinggangku.
“Aku tadi ijin keluar mau ke Bogor, tempat temen waktu SMA, jadi kayaknya kalo pulang sekarang masih kesiangan deh.. kita jalan aja yuk..!”
“Kemana?” tanyaku, sambil menggoda nakal.
“Ah.. kamu ngelantur deh..” sambil mencubit pinggangku.
aku hanya meringis, sambil aku langsung gandeng pinggangnya menuju
mobil di parkiran. Keluar dari Wendy’s, aku langsung mengarahkan mobil ke tol
Jagorawi. Setelah masuk tol,
“Kok, kita ke sini.. mau kemana?”
“Ya.. ke Bogor lah.. paling tidak kan, kamu nggak terlalu banyak bo’ongnya.”
“Ya.. ke Bogor lah.. paling tidak kan, kamu nggak terlalu banyak bo’ongnya.”
Nana diam saja sambil merenggut manja dan memalingkan wajah ke
luar.
Kupegang bahunya,
“Jangan marah gitu doong, eh.. tapi kamu manis juga kalo lagi cemberut
gitu..” lagi-lagi Nana mencubitku di pinggang.
Kali ini kubiarkan, malah kutangkap tangannya dengan tangan kiri,
dan kutaruh tangannya di pangkuanku. Nana tidak menarik tangannya, malah
mengelus-elus perlahan bagian terlarangku sampai menggeNanat di balik celana.
Mobil memasuki jalan desa di pesisir Kali Cisadane dan berbelok masuk ke rumah
yang kubeli untuk beristirahat.
“Na.. kita udah sampai, yuk.. masuk..” aku mendahului langsung
masuk kamar, membuka kaos dan jeans lalu menggantinya dengan celana pendek.
“Na, kalo kamu mau pakai celana pendek atau kaos, di dalam ya..” teriakku dari dalam.
“Iiihh.. emangnya aku mau langsung ngamar gitu..” sambil berjalan ragu-ragu, melongokkan wajah ke pintu kamar.
“Eh.. yang mau begituan siapa..?”
“Aku mau berenang di kali bawah, kalo kamu mau ikut, ganti kaos dan celana pendek, nih..”
“Na, kalo kamu mau pakai celana pendek atau kaos, di dalam ya..” teriakku dari dalam.
“Iiihh.. emangnya aku mau langsung ngamar gitu..” sambil berjalan ragu-ragu, melongokkan wajah ke pintu kamar.
“Eh.. yang mau begituan siapa..?”
“Aku mau berenang di kali bawah, kalo kamu mau ikut, ganti kaos dan celana pendek, nih..”
Belum lagi Nana masuk, aku sudah berlari ke luar dan di pintu
bertabrakan dengan Nana yang mau masuk. Kami jatuh bertindihan dan tertawa
bersama-sama.
“Na, gila nih.. aku jadi kepingin banget.. tadi niatnya mau
berenang, tapi jadi berubah kebelet gini..” Dengan refleks kubopong Nana ke
dalam kamar dan kubimbing untuk berdiri sambil kupeluk dari belakang, mulut dan
bibirku ramai dengan kecupan rangsangan yang lembut namun bergairah di telinga,
tengkuk, dan leher, tanganku mengusap-usap di sekitar perut.
Ketika rangsangan itu menjalar di dadanya, Nana membalik,
“Gi.. Aku juga spaning, nih..” sambil bibirnya terbuka dengan
gemetar sensual karena gairah, mencari-cari bibirku.
Kulumat bibirnya, kukecup bibir bawahnya dan kuputar dan kulepaskan
dan langsung memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Belum lagi Nana siap, aku
sudah menangkap lidahnya dan menghisapnya dalam-dalam, sambil tangan kiri
menopang punggung, tangan kanan menjalar di antara dua bukit kembar bergantian.
Nana terlihat sangat bergetar, menahan gejolak akibat rabaan tanganku di
dadanya dan sedotan mulutku pada lidahnya sembari berjalan perlahan ke belakang
untuk bersandar pada dinding kamar. Kutarik lepas BH-nya, aku agak renggangkan
dan mengangkat tangannya ke atas untuk melepas t-shirtnya, dan menarik turun
jeans beserta celana dalam yang dipakainya.
Nana tidak ketinggalan menarik lepas celana pendek dan CD yang
kukenakan sekaligus, aku pun melepas kaosku sendiri. Sehingga kami sudah berbugil
ria tanpa sehelai benangpun yang melekat. Pada posisinya berdiri kujilati
sekitar permukaan pokeknya, jari-jariku bermain indah menyibakkan rambut di
belahan kemaluannya yang coklat kemerahan dan lembab yang beraroma khas wanita,
menciumi bibir luar pokek sebelah luar dan menjepitnya dengan bibir serta
menariknya dengan lembut, melepaskannya, dan berulang-ulang, terlihat Nana
menggeletar dan sedikit membungkuk, menahan geli dan gejolak yang luar biasa,
“Ssshh.. ah.. Gi.. sshh.. aduuhh.. enak bangeet.. sshh.. ahh..”
kumasukkan lidah ke dalam liang pokek dan mengeluar-masukkannya secara teratur.
Pokek Nana sudah banjir air liur dan cairan birahi kewanitaannya.
Nana memegang rambutku dan menekan-nekan kepalaku ke arah pokeknya,
sambil menceracau.
“Ogi.. ahh.. sshh.. terus masukin lagi.. sayang.. aduhh.. ahh..
lebih enak oralnya ini dari pada online, sayangghh.. sshh.. ahh..” (Selama
kurang lebih 4 bulan Nana selalu melakukan “bercinta/mastubrasi” selama sedang
online denganku).
Kubimbing Nana untuk merebah di lantai yang berkarpet, dan kuputar
tubuhku 180 derajat sehingga posisi “69″, dan langsung dilahapnya kemaluanku
yang sudah menegang dan mengacung melengkung ke atas, dikulum, disedot, bukan
main nikmatnya, sampai-sampai tidak bisa berkonsentrasi untuk mengerjai pokeknya.
“Aahh.. agghh.. sshh agghh..” Hampir 10 menit kami melakukan posisi
itu, dan sambil mengangkat pantatnya dan pinggulnya, Nana mengeluarkan cairan
dari pokeknya, lembut hangat terasa di ujung lidahku.
Aku seka dengan lidah dan kusedot sampai kering, nikmat sekali
protein itu, dan Nana berhenti sejenak untuk ketegangan dan orgasme yang
dilaluinya.
“Ahh.. ahh.. ayo bikin aku keluar lagi sayang..”
Kuusap lagi pokeknya dan menekan-nekan di antara lubang pokeknya
yang kiri dan kanan, sambil menarik-narik rambut kemaluannya, sambil menjepit
klitorisnya dengan bibirku. Sekali-kali kujulurkan lidahku menyentuh bagian
dalam pokeknya, dari kekenduran sehabis orgasme. Pokeknya mulai terlihat
menegang kembali, terus kupacu sampai kembali berdenyut-denyut seperti nadi.
Sementara batang penis dan “topi baja” tak henti-hentinya dikerjai dan dijilati
oleh Nana, yang hampir aku tidak kuat menahan. Sebelum terlontar, ternyata Nana
sudah benar-benar “siap tempur” di pokeknya.
“Ayo, Gi.. masukin kontol kamu ke pokekku, aku udah enggakkh
shhabar.. nihh..ahh..gatel.....” Kulepaskan perlahan penisku dari genggaman dan
kulumannya.
Posisi kami sekarang berhadap-hadapan, kuangkat/berdirikan pahanya
dan posisi telapak kaki tetap pada karpet, sehingga pokeknya benar-benar terlihat
dan terkuak dengan lebarnya, dan kupandangi.
“Na, pokek kamu seksi banget, permukaanya lebar & tembem,
bulunya indah banget, belum pernah aku nemuin pokek yang kayak gini..”
(berbohong).
“Ayoo.. dong Gi.. udah nggak nahan nih.. kok cuma diliatin aja sih, kentot pokekku dong” sambil memegangi paha.
“Ayoo.. dong Gi.. udah nggak nahan nih.. kok cuma diliatin aja sih, kentot pokekku dong” sambil memegangi paha.
Terus ke arah pokek yang sudah lembab dan licin itu, kuarahkan
penis yang sudah menegang melengkung dan mengkilap kepalanya itu ke pokeknya.
Perlahan-lahan masuk, dan dengan tiba-tiba kutancapkan sampai sedalam-dalamnya.
“Aghh.. gila.. kamu.. asshh..” tanpa menjawab kuputar searah jarum
jam berkali-kali dan ke arah sebaliknya tanpa menarik penis, baru
perlahan-lahan kutarik dan tekan, mulailah ceracaunya,
“Aaghh.. Gi.. ahh.. agghh..” aku juga mengalami hal yang sama,
“Na.. pokek kamu hangat, dan kayak ngejepit kontolku nih.. ahh.. agghh..” Peluh sudah membanjir di tubuhku dan Nana, cairan birahi telah membanjir di dinding pokek Nana, sehingga menimbulkan suara yang romantis dan binal,
“SsebBH.. beebb.. sebb..” berulang-ulang.
“Aaghh.. Gi.. ahh.. agghh..” aku juga mengalami hal yang sama,
“Na.. pokek kamu hangat, dan kayak ngejepit kontolku nih.. ahh.. agghh..” Peluh sudah membanjir di tubuhku dan Nana, cairan birahi telah membanjir di dinding pokek Nana, sehingga menimbulkan suara yang romantis dan binal,
“SsebBH.. beebb.. sebb..” berulang-ulang.
Lebih 15 menit kutarik keluar seluruh penisku, sehingga menimbulkan
bunyi, “Plob..” Nana benar-benar sedang “on” dan nyaris klimaks, dan langsung
melihat ke arahku.
“Kenapa dicabut sayanghh..”
“Sabar, ya.. kamu udah mau keluar khan.. tahan dulu yah..” sembari ganti posisi sambil kami istirahat, biar asik klimaksnya.
“Sabar, ya.. kamu udah mau keluar khan.. tahan dulu yah..” sembari ganti posisi sambil kami istirahat, biar asik klimaksnya.
Tanpa menjawab Nana setuju dengan alasan yang kuberikan.
Kutelungkupkan posisi merangkak (doggy style) dan kumasukkan ke pokeknya,
terpeleset.. dan dengan bantuan tangan Nana akhirnya penis yang sudah mengkilap
saking tegangnya itu berhasil masuk ke dalam, dan mulai menarik dan mendorong
pantat untuk menikmati permainan ini sampai puncak. kuraih bukit kembar yang
bergelantungan, kuusap putingnya, kutarik-tarik dan kutekan, kujilati
punggungnya yang penuh dengan peluh. Terlihat Nana menegang dan aku tidak tahan
lagi, kucabut penis dan kubalikkan posisi Nana menjadi terlentang, kembali
kumasukkan penisku ke pokeknya terus kupertahankan irama permainan sesantai
mungkin. Rupa-rupanya cara inilah wanita yang biasa tergila-gila dalam mencapai
orgasme klimaksnya yang tiada tara.
“Gi.. tekan sayang.. ahh.. agghh.. sshh..” bergantian ceracau kami
berdua. Kami sama-sama menegang, terus berpacu dengan kenikmatan gelora yang
tiada tara, dan pada hampir menit ke-50, kubisikkan kepada Nana,
“Aku.. udahh.. mau keluar.. sayangghh.. agghh.. sshh.., bagaimana dengan kamu..?”
“Aku juga mau keluarhh..” jawab Nana sambil merem-melek.
“Ayoo.. kita keluarin bareng yahh.. aduhh...sshh.. agghh..”
“Aku.. udahh.. mau keluar.. sayangghh.. agghh.. sshh.., bagaimana dengan kamu..?”
“Aku juga mau keluarhh..” jawab Nana sambil merem-melek.
“Ayoo.. kita keluarin bareng yahh.. aduhh...sshh.. agghh..”
“aaaaahhhhhhh........ pokekku!!!!! Nana orgasme sambil
mengelus-ngelus pokeknya yang berbulu itu”.
Kami menegang, Nana menjepit pinggangku dan menjambak rambutku.
Kuhisap bergantian puting bukit kembarnya sambil sekali-kali kumasukkan
semuat-muatnya gundukan bukit itu dan kuhisap serta dilepaskan. Nana tampak
menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak tahu mana yang lebih nikmat pada
penghujung permainan seks ini, dan aku tidak tahan, hampir bersamaan kami
keluarkan cairan bersamaan, seolah tidak ada kering-keringnya. Hampir 14 kali
tembakan penisku menyemburkan sperma di dalam pokek Nana, demikian Nana juga
kurasakan mengalir seperti mata air, air mani yang dikeluarkannya pada saat
klimaks.
Pulang dari Bogor, kuantar Nana ke rumahnya. Sampai di rumah,
ternyata Nana masih berhasrat lagi, kebetulan di rumah hanya ada adiknya yang
sudah kelas 2 SMU sedang tidur siang dan pembantu sedang mencuci di belakang.
Aku khawatir juga, karena bermain api di kandang macan.
“Suamimu pulang jam berapa?” tanyaku pelan.
“Dia sih jam 9 malam baru sampai,” jawab Nana sambil menyodorkan minuman marquisa dingin.
“Yuk.. kita ke atas!” ajaknya sambil manarik tanganku, dan lagi-lagi aku menurut.
“Dia sih jam 9 malam baru sampai,” jawab Nana sambil menyodorkan minuman marquisa dingin.
“Yuk.. kita ke atas!” ajaknya sambil manarik tanganku, dan lagi-lagi aku menurut.
Baru saja kami melakukan warming up dan saling membelai dan
berciuman, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan-lahan dan entah sudah berapa
lama Naysilla adik Nana berdiri di situ sambil memperhatikan kakaknya sedang
aku kerjai, sampai pada suatu waktu kami melihatnya dan refleks menghentikan
segala aktifitas.
“Kok berhenti kak..” aku diam dan sedikit pucat, lebih-lebih Nana,
sebaliknya Naysilla dengan tenangnya menghampiri kami.
“Mah.. tenang aja, Naysilla ngerti kok, Naysilla juga udah pernah kayak gini, sama Mas Andre.”
“Mah.. tenang aja, Naysilla ngerti kok, Naysilla juga udah pernah kayak gini, sama Mas Andre.”
Belakangan aku tahu Andre adalah pacar Naysilla. Dengan
mengorbankan aku, Nana bilang,
“Ini Mas Ogi mau pulang, tapi maksa Mamah untuk dicium, Mamah malu,
jadi ngasihnya di sini aja (atas loteng),”
Lebih terkejut lagi, aku dan Nana,
“Udahlah kak.. aku udah tahu kok kesepian, kakak terusin aja, dan
pasti aman, tapi asal aku boleh liat.”
Kami berpandangan, tapi jengah untuk meneruskan. Dengan santainya, Naysilla
membuka pakaian SMU-nya, dan terus memandangi kami. Akhirnya Nana memeluk Naysilla
dan meminta maaf, tapi dengan halus Naysilla mendorong Nana dan mengalungkan
tangannya ke leherku dan menciumiku. Hilang semua kekakuan, dan akhirnya Nana
membantu melepaskan pakaian yang kupakai dan akhirnya melepas pakaiannya pula.
Jadilah pertandingan 2 lawan 1. Gila adik dan kakak sekaligus.
Naysilla ternyata memiliki gaya konvensional, meski dia sudah
beberapa kali melakukan hubungan seks, sehingga mau tidak mau Nana harus
mengalah ketika Naysilla kukerjai dan kulumat. Yang paling banyak kami lakukan
adalah dengan gaya telentang atau duduk dan bergantian. Nana dan Naysilla di
atas sambil ber-rodeo di atas rudal yang berdiri kokoh. Ketika Nana menggunakan
doggy style, Naysilla berada di atas punggungnya (tidak sampai menduduki) dan pokeknya
mengarah ke mulutku dan kukerjai habis-habisan sampai berkali-kali. Ia menjerit
karena klimaks prematur akibat sensitifitas rangsangannya yang begitu peka.
Nana telah bercucuran peluh, aku dan Naysilla juga serupa, dan
permainan itu hampir 2 jam kami lakukan karena Naysilla cepat keluar dan cepat
sekali “on”, sementara Nana terkontrol karena sedikit agak malu bersaing dengan
Naysilla, serasa spermaku terkuras habis. Jika dengan Nana, kumuntahkan di
dalam lubang pokeknya yang berbulu itu, sedangkan dengan Naysilla juga ku tembakkan di dalam lubang pokeknya sisa air mani yang masih menempel di penisku kukeluarkan di mulutnya. Naysilla
dengan terampil menyedotnya sampai tuntas.
Sampai akhirnya kami terkulai lemas di kamar atas, ketika sedang
maghrib, aku diam-diam meninggalkan kamar itu dengan lunglai. Dan saat mereka
tidur pulas karena kecapean ku kentot, aku memfoto mereka yang sedang lagi
bugil dan mengangkang sebagai kenang-kenangan. Tidak lupa aku mencukur bulu
pokek Nana dan bulu pokek Naysilla yang akan ku simpan sebagai koleksi
berhargaku. Sejak itu tidak pernah lagi Nana menghubungiku, dan aku pun segan
untuk menghubunginya, namun permainan seperti ini baru sekali dalam pengalaman
seks-ku. Ma’afkan dan terimakasih untuk Nana dan Naysilla atas pengalaman itu. Sebulan
kemudian aku mendengar kabar kalau Nana sudah hamil 2 bulan, berarti anak yang
di dalam kandungan Nana kemungkinan anak kami dari hasil hubungan seks itu. sedangkan Naysilla juga hamil dari hasil perbuatanku, tapi Naysilla malah menggugurkannya karna takut malu.