REISA
KARTIKA
“Desahan kemaluan dr. Reisa yang sangat lebar”
Dokter
Reisa San... hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang
aneh-aneh ya, aku mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung
sana diangkat. "Udah makan belum?" suara merdu di seberang sana
menyahut. "Cie... illeee, perhatian nich", aku menyambung dan,
"Bodo ach", lalu terdengar tuutt... tuuuttt... tuuut, rupanya telepon
di sana sudah ditutup. Malam ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan
di UGD alias Unit Gawat Darurat ada dr. Reisa yang jaga. Nah, UGD kalau sudah
malam begini jadi pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD, nanti
baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke bagian mana
para pasien yang perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung
di UGD, jadi tidak perlu merepotkan dokter bangsal. dr. Reisa sendiri harus aku
akui dia cukup terampil dan pandai juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun,
cantik menurutku, tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal,
kulitnya putih dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara
tenang seakan memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai
yaitu ketus dan judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang
sering ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang
dia masih single. Cuma dengar-dengar saja belakangan ini dia lagi punya
hubungan khusus dengan dr. Anton tapi aku juga tidak pasti. Kira-kira jam 2
pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga. "Siapa?"
tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata. "Dok,
ditunggu di UGD ada pasien konsul", suara dibalik pintu itu menyahut, oh
suster Lena rupanya. "Ya", sahutku sejurus kemudian. Sampe di UGD
kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup terdengar suara
rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat kulihat sepintas
seorang pria tergeletak di sana tapi belum sempat kulihat lebih jelas ketika
dr. Reisa menyongsongku, "Fran, pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke
mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi
(dipotong, gitu maksudnya), gimana menurut elu?" demikian resume singkat
yang diberikan olehnya. "San, elu makin cantik aja", pujiku sebelum
meraih status pasien yang diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke
tempat pasien itu, sebuah cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Reisa
mengiringi langkahku sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit
juga nih. Saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir
putus dan yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja. "Dok, tolong
dok... jangan dipotong", pintanya kepadaku memelas. Akhirnya aku panggil
itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan kerjanya untuk mendekat
dan aku berikan pengertian ke mereka semua. "Siapa nama Bapak?"
begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk memastikan bahwa
status yang kupegang memang punya pasien ini. "Praptono", sahutnya
lemah. "Begini Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan
berusaha untuk mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan
karena yang tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi
pembuluh darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Bila saya jahit dan
sambungkan, itu hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 - 4 hari setelah itu
jari ini akan membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus dibuang juga, jadi
dikerjakan 2 kali. Kalau sekarang kita lakukan hanya butuh 1 kali pengerjaan
dengan hasil akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin
membuang jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat
karena lukanya rapih dan tidak compang-camping seperti ini", begitu
penjelasan aku pada mereka. Kira - kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk
meyakinkan mereka akan tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke,
aku minta dr. Reisa untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan
tindakan medik dan pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan
peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD. "San, elu mau jadi
operatornya?" tanyaku setelah semuanya siap. "Ehm... aku jadi asisten
elu aja deh", jawabnya setelah terdiam sejenak. Entah kenapa ruangan UGD
ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas sehingga butir-butir keringat
yang sebesar jagung bercucuran keluar terutama dari dahi dan hidung yang
mengalir hingga ke leher saat aku kerja itu. Untung Reisa mengamati hal ini dan
sebagai asisten dia cepat tanggap dan berulang kali dia menyeka keringatku.
Huh... aku suka sekali waktu dia menyeka keringatku, soalnya wajahku dan
wajahnya begitu dekat sehingga aku juga bisa mencium wangi tubuhnya yang begitu
menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke atas sehingga tampak
lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Benar-benar menggoda iman dan harapan. Setengah jam kemudian selesai sudah
tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka yang kuserahkan pada dr. Reisa.
Setelah itu kulepaskan sarung tangan sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di
wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis. Ini yang
membuat aku tidak tahan dari tadi ingin pipis. Daripada aku mesti lari ke
bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana juga ada
toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula rasanya
lebih bersih. Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet),
"Ooopsss..." terdengar jeritan kecil halus dan kulihat dr. Reisa
masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian atasnya dengan kaos yang
dipegangnya. "Ngapain lu di sini?" tanyanya ketus. "Aku habis
pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu buka
baju?" tanyaku tak mau disalahkan begitu saja. "Ya, udah keluar sana",
suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik pintu biar tidak kelihatan
dari luar saat kubuka pintu nanti. Ketika aku sampai di pintu, kulihat dr. Reisa
tertunduk dan... ya ampun.... pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan
ke pangkal lengannya, "Rei, pundak elu bagus", bisikku dekat
telinganya dan semburat merah muda segera menjalar di wajahnya dan ia masih
tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk mengecup pundaknya perlahan. Ia
tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga
ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh kaos
yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan terasa agak lembab.
Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk menggantinya dengan yang baru.
Berkeringat juga rupanya tadi. Perlahan kubalikkan tubuhnya dan segera tampak
punggungnya yang putih mulus, halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku
bermain lincah di pundak dan punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus dan kusapu dengan lidahku yang basah. "Aaaccch...
ach..." desahnya yang pertama dan disusul dengan jeritan kecil tertahan
dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya sedikit
mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke siku dan dengan sedikit
tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang secara otomatis menarik
kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan dari belakang pundaknya itu.
Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang
dan pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah
dadu sedangkan yang sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya
dan ia menjerit tertahan, "Aach... ach... ssshhh", tubuhnya pun
kurasakan semakin lemas oleh karena semakin berat aku menahannya. Dengan tetap
dalam dekapan, kubimbing dr. Reisa menuju ke ranjang yang ada dan perlahan
kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di senyum
tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya.
Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban
tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke
pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung
liang telinganya. Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan
desahan halus disertai terbukanya bibir ranum itu. "Ssshhh...
acchh..." Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya dan segera kami saling
berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut dan mencari
lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan lidahku ke langit-langit
mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher dan
terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah dan
kukitari putingnya yang menonjol itu. Lima sampai tujuh kali putaran dan
putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke dagunya. Reisa
memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan lidahku terus turun
dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang kiri yang masih
menutupi bukitnya. Tampak kini dengan jelas kedua puting susunya masih berwarna
merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukan bukit. Feeling-ku,
belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya. Kujilat tepat di area puting
kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan yang kelima atau keenam, aku
lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu dan segera
kutangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi bagian atas, "Ach... ach...
ach..." suara desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga mulai
aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku. Sambil terus
memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru turun
ke bawah melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana
panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana
dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit
lebih kasar. "Eeehhhm... ech..." tidak diteruskan tapi bergerak kembali
naik menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area pinggulnya dan
segera kutekan dengan agak keras dan mantap, "Ach..." pekiknya kecil
pendek seraya bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat dan pinggulnya.
Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan keduanya kanan
dan kiri dan, "Fran... ugh..." teriaknya tertahan. Aku kaget juga,
itu kan artinya Reisa sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia
memang memberikan kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam hanya-hanya
kadang terbuka. Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu turun.
Mudah, oleh karena Reisa memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang
dilakukannya sangat membantu. Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih
mulus, tentu dia merawatnya dengan baik juga oleh karena dia juga kan berasal
dari keluarga kaya, kalau tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea
cukai. Kuraba paha bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga
punggung kaki dan secara tak terduga Reisa meronta dan terduduk, dengan nafas
memburu dan tersengal-sengal, "Fran..." desisnya tertelan oleh
nafasnya yang masih memburu. Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit
tergesa dan kubantunya lalu ia mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya
bergerak aktif menarik retsleting celanaku dan menariknya lepas. Langsung saja
aku berdiri dan melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Reisa sehingga ia rebah
kembali dan kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut mengimbangi
dengan mengusap rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya kulihat ia
memakai celana berwarna dadu dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung
sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda
basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip
keluar dari balik celananya. Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya
dan kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. Kini kami
sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku.
Sementara Reisa sudah mengangkang lebar tapi labia mayoranya masih tertutup
rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah
lubang kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang
berwarna pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat walau lebih merah
dibandingkan dengan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih perawan. Tak lama
kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu oleh karena
sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar dan
banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru saat itu kujulurkan
lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. "Eehhh...
ach... ach... ehhh", desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba
untuk membersihkannya namun banjir itu datang tak tertahankan. Aku kembali naik
dan menindih tubuh Reisa, sementara kemaluanku menempel di selangkangannya dan
aku sudah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang
kenyal itu dengan kekuatan lemah yang makin lama makin kuat. "Fran...
ambilah..." bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan
ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan
torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas
oleh karena licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali masih gagal juga namun
yang ketiga rasanya aku berhasil ketika tangan Reisa tiba-tiba memegang erat
kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit
dengan bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya
mulai memasuki liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian
seluruh batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki Reisa
pun sudah melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak.
"Tunggu", pintanya ketika aku ingin bergerak. Beberapa saat kemudian
aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Reisa pun sudah turun, mulanya
biasa saja dan respon yang diberikan juga masih minimal, sesaat kemudian
nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai tampak di
dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin mempesona dan gerakan mengocokku
mulai kutingkatkan frekuensinya dan Reisa pun mulai dapat mengimbanginya. Makin
lama gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan di
dadaku kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku.
"Yach... ach... eeehmm", desisnya berirama dan sesaat kemudian aku
makin merasakan liang senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat,
gerakan tubuhnya makin liar. Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain
sprei, sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun yang
kunikmati saat ini adalah kenikmatan yang makin meningkat dan luar biasa, lain
dari yang kurasakan selama ini melalui masturbasi. Makin cepat, cepat, cepat
dan akhirnya kaki Reisa kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke
dalam bersamaan dengan pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik
kemudian.. "Eeeggghhh..." jeritannya tertahan bersamaan dengan
mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku dan,
"Crooot... crooot", memberikannya kenikmatan yang luar biasa.
Sebaliknya bagi Reisa terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan memberikan
rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam tiada
berujung. Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih kurasakan,
demikian juga tubuhku masih kaku. Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa,
kulipat jadi dua dan kuletakkan kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser
sedikit untuk memberinya nafas agar beban tubuhku tidak menindih paru-parunya
namun tetap tubuhku menindih tubuhnya. Kulihat senyum puasnya masih mengembang
di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat mengkilap licin karena keringat kami
berdua. "Fran... thank you", sesaat kemudian, "Ehmmm... Fran aku
boleh tanya?" bisiknya perlahan. "Ya", sahutku sambil tersenyum
dan menyeka keringat yang menempel di ujung hidungnya. "Aku... gadis
keberapa yang elu tidurin?" tanyanya setelah sempat terdiam sejenak.
"Yang pertama", kataku meyakinkannya, namun Reisa mengerenyitkan
alisnya. "Sungguh?" tanyanya untuk meyakinkan. "Betul...
keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil", bisikku di
telinganya. Reisa tersenyum manis. "San, thank you juga", itu
kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap kelelahan dengan senyum puas
masih tersungging di bibir mungilnya dan batang kemaluanku juga masih belum
keluar tapi aku juga ikut terlelap.